Jumat, 13 November 2009

Dewi Durgha Sang Perupa

Wahai Dewi Durgha sang perupa
Ajari jemari ini melukis di kanvas hati
Baluri kuku-kuku perayu dengan merah darahmu
Racikan tujuh pelangi dengan keringat warnamu
Menjamah wajah yang bersua tak pernah
Singkap kesenyuman perawan yang tertanam di palung terdalam

Wahai Dewi Durgha sang perupa
Pesanggrahan tujuh rupa kembang setaman dalam wajan nekara
Coba hadirkan ‘tuk undang kau datang diperaduan
Dengan mantera-mantera penjelma penglayang sukma
Peradukan do’a jumantara telanjangi jiwa samsara
Mengiringi asap dupa mengepul mengawini keharuman kemenyan
Mengguncang suara gema selaksa isi bhuwana

Wahai Dewi Durgha sang perupa
Buaikan asa dikata mencapai nirwana purnama
Mengkristal dibalik taji brani suatu prasasti
Wira ksatria karsa manunggaling sukma
Sang Putri pujaan di puri Istana Baginda
Nun jauh di kota maha praja
Lewati sagita kencana beribu langkah bhatara khala
Dalam fatamorgana kaca benggala mustika

Wahai Dewi Durgha sang perupa
Ikatkan kami dengan temali api suci abadi
Wujudkan legenda yang tak lekang dimakan zaman
Hingga temurun remah yang menjemput ajal
Keabadian suci yang tak mati sampai tutup lawang sigotaka

Jakarta , 20 Juli 2001
Sebuah permohonan akan kerinduan

Ketidakpastian

Kedua kakiku jauh sudah melangkah
Mengikuti bisikan suci kata hati dan ajakan putih naluri
Coba ungkap misteri kehidupan yang legam terpendam
Bukakan tabir takdir gelap yang selama ini masih senyap
Merambah disetiap jengkal tanah dan relung sudut celah kota
Aku coba lalui arah utara dengan pasti
Aku jalani arah selatan dengan segenggam keyakinan
Aku laju arah timur tanpa ada rasa ragu
Aku rambah arah barat penuh gairah
Tak ada loka yang patut curiga tersisa dan terlupa
Semuanya dilakukan dengan tabah dan pasrah
Tanpa lirih pamrih terbakti dari buta mata kaki

Bulir-bulir keringat merambat ragha membasuh meluruh
Wanginya setia menemai hingga lenyap tersapu bayu
Membentuk muara rasa diujung penat yang menyengat
Kawan pengabdian bagi pengorbanan sang petualang

Kelup mataku separuh tenaga lelah melihat yang ada
Kering mata air mata yang selalu bercengkerama dengan luka
Kantuk mengetuk kala siang hilang atau malam akan menjelang
Putih retina terkabur kelabu dimakan usia perjalanan

Suara serak teriak mengangkat penderitaan yang lama terjerat
Jerit pekik melengking hilang ditelan desing lalu lalang
Perau tak menyisakan sepatah kata tuk pecahkan semua problema
Hingga hanya bisu yang masih membara membahana didada
Dan lidah terbujur kaku membiarkan semua berlalu

Telinga sudah tuli dijejali doktrin yang sudah basi
Mengiang seperti genderang perang yang telah ditabuhkan
Tak ada kesejukan dan ketenangan yang lama didambakan
Atau petuah berkah dan khasiat dari nasihat para pujangga Nusantara
Kini yang didapat hanyalah cemoohan dan makian dari insan

Jakarta, 15 Agustus 2003
Suatu reflesi kehidupan menyongsong Fajar Kemerdekaan
Republik Indonesia ke 58
Dirgahayu Negaraku